Sejarah G30SPKI
SEJARAH SINGKAT G30SPKI
Alasan utama tercetusnya peristiwa G30S disebabkan sebagai
suatu upaya pada melawan apa yang disebut "rencana Dewan Jenderal hendak
melakukan coup d‘etat terhadap Presiden Sukarno“.[April 2010]
Aktivitas PKI dirasakan oleh kalangan politik, beberapa
bulan menjelang Peristiwa G30S, makin agresif. Meski pun tidak langsung
menyerang Bung Karno, tapi serangan yang sangat kasar misalnya terhadap apa
yang disebut "kapitalis birokrat“[April 2010] terutama yang bercokol di
perusahaan-perusahaan negara, pelaksanaan UU Pokok Agraria yang tidak menepati
waktunya sehingga melahirkan "Aksi Sepihak“ dan istilah "7 setan
desa“[April 2010], serta serangan-serangan terhadap pelaksanaan Demokrasi
Terpimpin yang dianggap hanya bertitik berat kepada "kepemimpinan“-nya dan
mengabaikan "demokrasi“-nya[April 2010], adalah pertanda meningkatnya rasa
superioritas PKI[April 2010], sesuai dengan statementnya yang menganggap bahwa
secara politik, PKI merasa telah berdominasi.[April 2010] Anggapan bahwa partai
ini berdominasi,pada akhirnya tidak lebih dari satu ilusi.[April 2010]
Ada pun Gerakan 30 September 1965, secara politik
dikendalikan oleh sebuah Dewan Militer yang diketuai oleh D.N. Aidit dengan
wakilnya Kamaruzzaman (Syam), bermarkas di rumah sersan (U) Suyatno di komplek
perumahan AURI, di Pangkalan Udara Halim. Sedang operasi militer dipimpin oleh
kolonel A. Latief sebagai komandan SENKO (Sentral Komando) yang bermarkas di
Pangkalan Udara Halim dengan kegiatan operasi dikendalikan dari gedung PENAS
(Pemetaan Nasional), yang juga instansi AURI dan dari Tugu MONAS (Monumen
Nasional). Sedang pimpinan gerakan, adalah Letkol. Untung Samsuri.
Menurut keterangan, sejak dicetuskannya gerakan itu, Dewan
Militer PKI mengambil alih semua wewenang Politbiro, sehingga instruksi politik
yang dianggap sah, hanyalah yang bersumber dari Dewan Militer. Tapi setelah
nampak bahwa gerakan akan mengalami kegagalan, karena mekanisme
pengorganisasiannya tidak berjalan sesuai dengan rencana, maka dewan ini tidak
berfungsi lagi. Apa yang dikerjakan ialah bagaimana mencari jalan menyelamatkan
diri masing-masing. Aidit dengan bantuan AURI, terbang ke Yogyakarta, sedang
Syam segera menghilang dan tak bisa ditemui oleh teman-temannya yang memerlukan
instruksi mengenai gerakan selanjutnya.
Antara kebenaran dan manipulasi sejarah. Dalam konflik
penafsiran dan kontroversi narasi atas Peristiwa 30 September 1965 dan peranan
PKI, klaim kebenaran bagaikan pendulum yang berayun dari kiri ke kanan dan
sebaliknya, sehingga membingungkan masyarakat, terutama generasi baru yang
masanya jauh sesudah peristiwa terjadi. Tetapi perbedaan versi kebenaran
terjadi sejak awal segera setelah terjadinya peristiwa.
Di tingkat internasional, Kantor Berita RRC (Republik Rakyat
Cina), Xinhua, memberikan versi bahwa Peristiwa 30 September 1965 adalah
masalah internal Angkatan Darat Indonesia yang kemudian diprovokasikan oleh
dinas intelijen Barat sebagai upaya percobaan kudeta oleh PKI.[April 2010]
Presiden Soekarno pun berkali-kali melakukan pembelaan bahwa
PKI tidak terlibat dalam peristiwa sebagai partai melainkan karena adanya
sejumlah tokoh partai yang keblinger dan terpancing oleh insinuasi Barat, lalu
melakukan tindakan-tindakan, dan karena itu Soekarno tidak akan membubarkan
PKI. Kemudian, pimpinan dan sejumlah perwira Angkatan Darat memberi versi
keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan
seorang perwira pertama AD pada tengah malam 30 September menuju dinihari 1
Oktober 1965. Versi ini segera diterima secara umum sesuai fakta kasat mata
yang terhidang dan ditopang pengalaman buruk bersama PKI dalam kehidupan sosial
dan politik pada tahun-tahun terakhir. Hanya saja harus diakui bahwa sejumlah
perwira penerangan telah menambahkan dramatisasi artifisial terhadap kekejaman,
melebihi peristiwa sesungguhnya (in factum). Penculikan dan kemudian pembunuhan
para jenderal menurut fakta memang sudah kejam, tetapi dramatisasi dengan
pemaparan yang hiperbolis dalam penyajian, telah memberikan efek mengerikan
melampaui batas yang mampu dibayangkan semula. Dan akhirnya, mengundang
pembalasan yang juga tiada taranya dalam penumpasan berdarah antar manusia di
Indonesia.
Setelah berakhirnya masa kekuasaan formal Soeharto, muncul
kesempatan untuk menelaah bagian-bagian sejarah –khususnya mengenai Peristiwa
30 September 1965 dan PKI yang dianggap kontroversial atau mengandung
ketidakbenaran. Kesempatan itu memang kemudian digunakan dengan baik, bukan
saja oleh para sejarawan dalam batas kompetensi kesejarahan, tetapi juga oleh
mereka yang pernah terlibat dengan peristiwa atau terlibat keanggotaan PKI.
Bila sebelum ini penulisan versi penguasa sebelum reformasi banyak dikecam
karena di sana sini mengandung unsur manipulasi sejarah, ternyata pada sisi
sebaliknya di sebagian kalangan muncul pula kecenderungan manipulatif yang sama
yang bertujuan untuk memberi posisi baru dalam sejarah bagi PKI, yakni sebagai
korban politik semata. Pendulum sejarah kali ini diayunkan terlalu jauh ke
kiri, setelah pada masa sebelumnya diayunkan terlalu jauh ke kanan.
Terdapat sejumlah nuansa berbeda yang harus bisa dipisahkan
satu sama lain dengan cermat dan arif, dalam menghadapi masalah keterlibatan
PKI pada peristiwa-peristiwa politik sekitar 1965. Bahwa sejumlah tokoh utama
PKI terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 dan kemudian melahirkan Peristiwa
30 September 1965 –suatu peristiwa di mana enam jenderal dan satu perwira
pertama Angkatan Darat diculik dan dibunuh– sudah merupakan fakta yang tak
terbantahkan. Bahwa ada usaha merebut kekuasaan dengan pembentukan Dewan
Revolusi yang telah mengeluarkan sejumlah pengumuman tentang pengambilalihan
kekuasaan, kasat mata, ada dokumen-dokumennya. Bahwa ada lika-liku politik
dalam rangka pertarungan kekuasaan sebagai latar belakang, itu adalah soal lain
yang memang perlu lebih diperjelas duduk masalah sebenarnya, dari waktu ke
waktu, untuk lebih mendekati kebenaran sesungguhnya. Proses mendekati kebenaran
tak boleh dihentikan. Bahwa dalam proses sosiologis berikutnya, akibat dorongan
konflik politik maupun konflik sosial yang tercipta terutama dalam kurun waktu
Nasakom 1959-1965, terjadi malapetaka berupa pembunuhan massal dalam perspektif
pembalasan dengan anggota-anggota PKI terutama sebagai korban, pun merupakan
fakta sejarah. Ekses telah dibalas dengan ekses, gejala diperangi dengan
gejala.
Pemberontakan G 30 S /PKI
Usaha terhadap Pemerintah RI dan mengganti dasar negara
Pancasila telah dua kali dijalankan, yang pertama di tahun 1948, dikenal
sebagai pemberontakan PKI Muso di Madiun dan yang kedua ialah pemberontakan G
30 S PKI dalam bulan September 1965.
Sebelum melancarkan Gerakan 30 September, PKI mempergunakan
berbagai cara seperti mengadu domba antara aparat Pemerintah, ABRI dan ORPOL,
serta memfitnah mereka yang dianggap lawan-lawannya serta menyebarkan berbagai
isyu yang tidak benar seperti KABIR, setan desa dan lain-lain. Semua tindakan
tersebut sesuai dengan prinsip PKI yang menghalalkan segala cara untuk mencapai
tujuannya yaitu mengkomuniskan Indonesia dan mengganti Pancasila dengan
ideologi mereka. Bahkan menjelang saat-saat meletusnya pemberontakan G 30 S
/PKI, maka PKI di tahun 1965 melontarkan isyu bahwa Angkatan Darat akan
mengadakan kup terhadap Pemerintah RI dan di dalam TNI AD terdapat "Dewan
Jenderal".
Jelaslah isyu-isyu tersebut merupakan kebohongan dan fitnah
PKI, yang terbukti bahwa PKI sendiri yang ternyata melakukan kup dan mengadakan
pemberontakan terhadap Pemerintah RI yang syah dengan mengadakan pembunuhan
terhadap Pejabat Teras TNI AD yang setia kepada Pancasila dan Negara.
.Di samping itu, PKI memantapkan situasi
"revolusioner" dikalangan anggota-anggotanya dan massa rakyat. Semua
ini dimungkinkan karena PKI mendompleng dan berhasil mempengaruhi presiden
Sukarno, dengan berbagai aspek politiknya seperti MANIPOL, USDEK, NASAKOM dan
lain-lain.
Semua kegiatan ini pada hakekatnya merupakan persiapan PKI
untuk merebut kekuasaan negara dan sesuai dengan cita-cita atau ideologi mereka
yang akan membentuk pemerintah komunis sebagai alat untuk mewujudkan masyarakat
komunis.
Setelah persiapan untuk melakukan pemberontakan mereka
anggap cukup matang antara lain dengan latihan kemiliteran para SUKWAN dan
Ormas-ormas PKI di Lubang Buaya, maka ditentukan hari H dan Jam D- nya. Rapat
terakhir pimpinan G 30 S /PKI terjadi pada tanggal 30 September 1965, diamana
ditentukan antara lain penentuan Markas Komando (CENKO) yang mempunyai 3 unsur
:
1. Pasopati, Tugas khusus pimpinan Lettu Dul Arief dari MEN
Cakrabirawa.
2. Bimasakti, tugas penguasaan dipimpin oleh Kapten Radi.
3. Gatotkaca sebagai cadangan umum juga penentuan
tanda-tanda pengenal, kode-kode dan hal-hal lain yang berhubungan dengan
operasi tersebut. Untuk gerakan operasi mereka ini Jakarta dibagi dalam 6
sektor.
Dari Lubang Buaya ini PKI dan pasukan-pasukan yang telah
dipersiapkan, melancarkan gerakan pemberontakannya, dengan diawali lebih dahulu
menculik dan membunuh secara keji Pemimpin-pemimpin TNI AD yang telah difitnah
oleh PKI menduduki beberapa instalasi vital di Ibukota seperti Studio RRI,
pusat Telkom dan lain-lain.
Diantara para Pemimpin TNI AD yang dibunuh secara kejam
adalah Panglima Angakatan Darat Letjen TNI A Yani, Deputy II MEN/PANGAD MAYJEN
TNI Suprato, Deputy III MEN/PANGAD Mayjen TNI Haryono MT, ASS 1 MEN/PANGAD
Mayjen TNI Suparman, ASS III MEN/PANGAD Brigjen TNI DI Pandjaitan, IRKEH OJEN
AD Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo
Usaha PKI untuk menculik dan membunuh MEN PANGAB Jenderal
TNI A.H. Nasution mengalami kegagalan, namun Ajudan beliau Lettu Czi Piere
Tendean dan putri beliau yang berumur 5 tahun Ade Irma Suryani Nasution telah
gugur menjadi korban kebiadaban gerombolan G 30 S/PKI. Dalam peristiwa ini Ade
Irma Suryani telah gugur sebagai tameng Ayahandanya. Para pemimpin TNI AD
tersebut dan Ajudan Jenderal TNI Nasution berhasil diculik dan dibunuh oleh
gerombolan G 30 S/PKI tersebut, kemudian secara kejam dibuang/dikuburkan di
dalam satu tempat yakni di sumur tua di Lubang Buaya daerah Pondok Gede.
Demikian pula AIP Satuit Tubun pengawal kediaman WAPERDAM
DR. A.J. Leimena gugur pula. Di Jogyakarta, DANREM 072 Kolonel Katamso dan
KASREM 072 Letkol I Sugiono gugur pula diculik dan dianiaya oleh gerombolan G
30 S/PKI secara di luar batas-batas perikemanusiaan di desa Kentungan.
Sementara itu, sesudah PKI dengan G 30 S/PKI nya berhasil
membunuh para pimpinan TNI AD, kemudian pimpinan G 30 S/PKI mengumumkan sebuah
dektrit melalui RRI yang telah berhasil pula dikuasai. Dekrit tersebut
diberinya nama kode Dekrit No 1 yang mengutarakan tentang pembentukan apa yang
mereka namakan Dewan Revolusi Indonesia di bawah pimpinan Letkol Untung.
Berdasarkan revolusi merupakan kekuasaan tertinggi, dekrit no 1 tersebut, maka
Dewan Revolusi merupakan kekuasaan tertinggi, Dekrit no 2 dari G 30 S/PKI
tentang penurunan dan kenaikan pangkat (semua pangkat diatas Letkol diturunkan,
sedang prajurit yang mendukung G 30 S/PKI dinaikan pangkatnya 1 atau 2
tingkat).
Setelah adanya tindakan PKI dengan G 30 S/PKI-nya tersebut,
maka keadaan di seluruh tanah air menjadi kacau. Rakyat berada dalam keadaan
kebingungan, sebab tidak diketahui di mana Pimpinan Negara berada. Demikian
pula halnya nasih para Pemimpin TNI AD yang diculikpun tidak diketahui
bagaimana nasib dan beradanya pula.
Usaha untuk mencari para pimpinan TNI AD yang telah diculik
oleh gerombolan G 30 S/PKI dilakukan oleh segenap Kesatuan TNI/ABRI dan
akhirnya dapat diketahui bahwa para pimpinan TNI AD tersebut telah dibunuh
secara kejam dan jenazahnya dimasukan ke dalam sumur tua di daerah Pondok Gede,
yang dikenal dengan nama Lubang Buaya.
Dari tindakan PKI dengan G 30 S nya, maka secara garis besar
dapat diutarakan :
1. Bahwa Gerakan 30 September adalah perbuatan PKI dalam
rangka usahanya untuk merebut kekuasaan di negara Republik Indonesia dengan
memperalat oknum ABRI sebagai kekuatan fisiknya, untuk itu maka Gerakan 30
September telah dipersiapkan jauh sebelumnya dan tidak pernah terlepas dari
tujuan PKI untuk membentuk pemerintah Komunis.
2. Bahwa tujuan tetap komunis di Negara Non Komunis adalah
merebut kekuasaan negara dan mengkomuniskannya.
3. Usaha tersebut dilakukan dalam jangka panjang dari
generasi ke generasi secara berlanjut.
4. Selanjutnya bahwa kegiatan yang dilakukan tidak pernah
terlepas dari rangkaian kegiatan komunisme internasional.
Sumber: wikipedia.com
Posting Komentar